CIANJURUPDATE.COM – Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat esensial dan bersifat universal. Hal ini terjadi karena dimanapun manusia berada di berbagai belahan bumi ini akan selalu membutuhkan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak dapat ditunda, sehingga masalah kesedian bahan pangan menjadi prioritas utama dalam membangun suatu bangsa (Bhullar, 2013).
Oleh karena itu, untuk memcahkan masalah ketersediaan bahan pangan di suatu wilayah maka sudah sewajarnya pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada upaya peningkatan ketahanan pangan. Fakus utama dalam peningkatan ketahanan pangan dari sisi produksi dapat dilakukan dengan cara meningkatkan hasil produksi dan keragaraman jenis bahan pangan (Irawan, 2005). Namun demikian, tantangan utama peningkatan ketahanan pangan di sutau wilayah dari sisi peningkatan produksi adalah semakin menurunya daya dukung lahan pertanian akibat maraknya alih fungsi lahan pertanian.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan di suatu wilayah menurut FAO, (2003) paling tidak ada empat pilar utama yang harus diperhatikan yaitu; (1) menyakut aspek ketersediaan pangan yang beragam dan dapat diperjualbelikan baik dari hasil usahatani sendiri maupun hasil impor; (2) menyangkut aspek stabilitas ketersediaan pangan hasil usahatani sendiri maupun hasil jual-beli impor untuk memenuhi kecukupan pangan; (3) menyangkut aspek keterjangkauan pangan dengan ketersedian yang cukup bagi seluruh lapisan pendapatan masyarakat; dan (4) menyangkut aspek konsumsi pangan yang bermutu dan bergizi untuk dapat dikonsumsi oleh keluarga/ masyarakat dengan ketersedian yang cukup.
Baca Juga: Anggota DPRD Asep Suherman Dorong Kepatuhan Masyarakat Soal Perda Pendidikan di Jabar
Keempat pilar tersebut harus dijadikan dasar untuk mewujudkan ketahanan pangan yang aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan nilai agama, norma, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, 2019).
Namun demikian, untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutnan tersebut tidak terlepas dari pengaruh aspek social, ekonomi, budaya maupun kondisi lingkungan fisik.
Menurut UU nomor 18 tahun 2012, pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Didalamnya menyatakan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Dalam mengembangkan pangan lokal, UU No 18 tahun 2012 pasal 12 ayat 2 dan 3, menyatakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan di daerah dan pengembangan produksi pangan lokal di daerah dengan menetapkan jenis pangan lokalnya. Hasan (2014) mengidentifikasi beberapa jenis bahan pangan lokal yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pengolahan tepung diantaranya adalah ubi alabio, waluh, talas, jagung, sagu dan sukun.
Baca Juga: Cianjur Siap Jadi Pusat Wisata dan Pangan, Punya Potensi yang Luar Biasa
Potensi sagu Indonesia sangat besar mencakup sekitar 60 persen luas sagu dunia. Produktivitas pati dapat mencapai 25 ton/ha/tahun dan tertinggi diantara tanaman penghasil pati lainnya. Pada tahun 2021 produksi sagu mencapai 367.132 ton namun konsumsinya hanya 0,4-0,5 kg/kapita/tahun. Hasil penelitian Direktorat Gizi Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa kandungan aci sagu per 100 gram bahan yang dapat dimakan mengandung 85,90% karbohidrat, 357 kal kalori, 15 mg kalsium, 1,40 gram protein, dan 1,40 gram zat besi. Produksi sagu terbesar berasal dari Provinsi Riau disusul Papua. Di beberapa daerah, sagu merupakan bahan pangan pokok yang memberikan efek kenyang seperti nasi.
Sagu dapat diolah menjadi panganan tradisional, tepung sagu dan turunannya seperti tepung sagu termodifikasi dan mi sagu, serta pati sagu dan turunannya seperti edible film, makanan pendamping ASI, dan sohun. Sedangkan untuk kebutuhan non-pangan, sagu dapat dimanfaatkan menjadi bioethanol dan Protein Sel Tunggal (Tirta, Indrianti, and Ekafitri 2013). Untuk bahan makanan pokok tepung sagu diolah menjadi berbagai bahan pangan khas seperti sagu rendang dan sempolet (Riau), papeda (Papua, Maluku), sagu kering (Jawa).
Jagung merupakan bahan pangan pokok dibeberapa daerah Jawa dan Sulawesi. Produksi tahun 2015 produksi jagung Indonesia 19.612.435,00 ton. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu masyarakat di Indonesia. Jagung kaya akan komponen pangan fungsional, termasuk serat pangan yang dibutuhkan tubuh, asam lemak esensial, isoflavon, mineral (Ca, Mg, K, Na, P, Ca dan Fe), antosianin, betakaroten (provitamin A), komposisi asam amino esensial, dan lainnya Pemanfaatan jagung dalam bentuk tepung dapat mensubstitusi terigu sebanyak 20-25% pada produk olahan roti dan mi, 40-50% pada produk olahan cake, 70-80% terhadap cookies dan sejenisnya (Suarni, 2011)
Singkong sering dianggap sebagai pangan kelas bawah (inferior), namun dalam kenyataannya beberapa masyarakat di Indonesia mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok yang dikombinasikan dengan lauk pauk seperti daging, ikan, dan sayur-sayuran sehingga tetap diperoleh gizi seimbang. Singkong diolah menjadi panganan pokok dengan nama yang berbedabeda seperti rasi (Jawa Barat), tiwul (Jawa Tengah dan Jawa Timur).
Singkong merupakan pangan yang kaya nutrisi dan kaya serat. Di dalam 100 gram singkong, terkandung sekitar 150 kalori dan aneka nutrisi berupa 38 – 40 gram Karbohidrat, 1 – 1,2 gram protein, 1 -2 gram Serat, 300 miligram kalium, 20 miligram kalsium, 25 – 30 mikrogram folat, 20 – 30 miligram vitamin C. Singkong juga mengandung zinc, magnesium, selenium, fosfor, vitamin A, vitamin B, dan beragam jenis antioksidan, seperti polifenol dan flavonoid (alodokter.com).
Saat ini Indonesia merupakan negara penghasil singkong terbanyak keempat dunia dengan luas areal penanaman singkong tahun 2019 sebesar 628.305 ha dan produksi sebanyak 16,35 juta ton, yang dihasilkan dari sentra produksi Provinsi Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan DI Yogyakarta. (kominfo.jatimprov.go.id)
Saya berpendapat bahwa ketergantungan masyarakat Indonesia pada satu jenis bahan pangan pokok, yaitu beras, merupakan masalah yang sangat krusial dan harus segera diatasi. Ketergantungan ini tidak hanya membuat sistem pangan nasional menjadi rapuh terhadap gangguan pasokan, tetapi juga menimbulkan risiko besar ketika terjadi gagal panen atau gangguan distribusi beras. Jika masyarakat terus-menerus menganggap bahwa “belum makan kalau belum makan nasi”, maka diversifikasi pangan akan sulit tercapai dan ketahanan pangan nasional menjadi rentan.
Karena hal itu diversifikasi pangan berbasis bahan lokal merupakan solusi strategis untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia. Ketergantungan pada beras harus segera dikurangi dengan mendorong konsumsi dan produksi pangan lokal seperti singkong, jagung, dan sagu. Upaya ini membutuhkan dukungan kebijakan yang konsisten, edukasi masyarakat secara masif, serta pengembangan infrastruktur distribusi dan industri olahan pangan lokal. Jika semua elemen masyarakat, termasuk generasi muda, terlibat aktif dalam perubahan pola konsumsi ini, maka ketahanan pangan nasional akan semakin kokoh dan berkelanjutan.